Kamis, 17 November 2011

Paradigma Pranata Sosial

PRANATA SOSIAL

Pengertian Sosial

Di kehidupan kita sebagai anggota masyarakat istilah sosial sering dikaitkan dengan hal-hal yang berhubungan dengan manusia dalam masyarakat, seperti kehidupan kaum miskin dikota, kehidupan kaum berada, kehidupan nelayan dan seterusnya. Dan juga sering diartikan sebagai suatu sifat yang mengarah pada rasa empati terhadap kehidupan manusia sehingga memunculkan sifat tolong menolong, membantu dari yang kuat terhadap yang lemah, mengalah terhadap orang lain, sehingga sering dikataka sebagai mempunyai jiwa sosial yang tinggi. Pada dunia pendidikanpun istilah sosial dipakai untuk menyebut salah satu jurusan yang harus dipilih ketika memasuki jenjang sekolah menengah atas atau pilihan ketika memasuki perguruan tinggi, dan jurusan tersebut adalah jurusan yang berkaitan dengan segala aktivitas yang berkenaan dengan tindakan hubungan antar manusia.

Lebih jauh lagi terdapat dua bidang ilmu yang ada di dunia ini yaitu ilmu pengetahuan alam dan humaniora, kedua bidang tersebut mempunyai perbedaan kajian, yaitu bahwa ilmu pengetahuan alam mengarah pada kajian-kajian yang bersifat alam dan pasti, sedangkan humaniora berkaitan dengan kemanusiaan, atau sering orang mengartikannya sebagai seni, bahasa, sastra. Sosial merupakan bidang yang berada di antara humaniora dan ilmu pengetahuan alam. Atau juga Ilmu pengetahuan alam dilawankan dengan ilmu pengetahuan sosial atau ilmu sosial. Sebenarnya apakah yang dimaksud dengan sosial dari kenyataan-kenyataan tentang istilah tersebut di atas. Dilihat dari sasaran atau tujuan dari istilah tersebut yang berkaitan dengan kemanusiaan, maka dapat diasumsikan bahwa semua pernyataan tersebut pada dasarnya mengarah pada bentuk atau sifatnya yang humanis atau kemanusiaan dalam artian kelompok, mengarah pada hubungan antar manusia sebagai anggota masyarakat atau kemasyarakatan. Sehingga dapat dimaksudkan bahwa social merupakan rangkaian norma, moral, nilai dan aturan yang bersumber dari kebudayaan suatu masyarakat atau komuniti yang digunakan sebagai acuan dalam berhubungan antar manusia.

Sosial disini yang dimaksudkan adalah segala sesuatu yang dipakai sebagai acuan dalam berinteraksi antar manusia dalam konteks masyarakat atau komuniti, sebagai acuan berarti sosial bersifat abstrak yang berisi simbol-simbol berkaitan dengan pemahaman terhadap lingkungan, dan berfungsi untuk mengatur tindakan-tindakan yang dimunculkan oleh individu-individu sebagai anggota suatu masyarakat. Sehingga dengan demikian, sosial haruslah mencakup lebih dari seorang individu yang terikat pada satu kesatuan interaksi, karena lebih dari seorang individu berarti terdapat hak dan kewajiban dari (Dosen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Andalas, Padang; Dosen Sekolah Bisnis Menejemen Institut Teknologi Bandung) masing-masing individu yang saling berfungsi satu dengan lainnya. Dalam konteks ini, manusia diatur hak dan kewajibannya yang menunjukkan identitasnya dalam sebuah arena, dan sering disebut sebagai status, bagaimana individu melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan apa yang telah ada dalam perangkat pedoman yang ada yang dipakai sebagai acuan.


Dengan adanya pedoman yang menjadi acuan dalam bertindak dan berinteraksi antar sesama manusia sebagai anggota masyarakat maka keharmonisan dan fungsi dari masing-masing hak dan kewajibannya akan dapat terwujud dalam konteks nyata.

Perwujudan dari hak dan kewajiban berupa status tersebut dalam tindakan yang ada disebut juga sebagai peran-peran yang tampak. Status dengan demikian merupakan kumpulan dari hak serta kewajiban yang dikenakan pada seorang individu pada satu arena tertentu dan suasana tertentu, artinya bahwa status seorang individu akan berlaku pada satu arena tertentu dan tidak berlaku pada arena lainnya. Dalam kehidupan suatu masyarakat atau komuniti, seorang individu akan berhubungan dengan individu lain yang juga anggota masyarakat atau komuniti yang bersangkutan, dan hubungan tersebut tidak hanya dalam satu arena tertentu saja akan tetapi sangat berkaitan dengan kebutuhan dari manusia itu sendiri.

Kebutuhan-kebutuhan manusia dalam rangka kehidupannya terwujud dalam bentuk-bentuk mata pencaharian, kesenian, bahasa dan struktur kemasyarakatan, kekerabatan, teknologi dan agama. Wujud pelaksanaan kebutuhan tersebut merupakan elemen dalam kebudayaan manusia, oleh karena itu masing-masing elemen tersebut memunculkan suasana-suasana tertentu yang sesuai dengan aktivitasnya.

Dengan dasar suasana dan arena yang manusia tersebut harus terlibat, maka otomatis, seorang individu sebagai anggota suatu masyarakat akan mempunyai banyak status berkaitan dengan suasana dan elemen budaya yang ada.
Ketika Sudin sedang kesulitan uang untuk modal kerja, dia bermaksud untuk
menghubungi Hasan yang dikenal di kampungnya sebagai saudagar yang
berhasil dan sangat dermawan. Maka dicarilah kesempatan untuk bertemu
Hasan. Kebetulan, pada suatu sore Hasan datang ke rumah Sudin untuk
bertemu dengan Togob kakak Sudin yang mempunyai keahlian sebagai tukang
bangunan. Hasan pergi mengunjungi Togob karena Togob adalah temannya
bermain sejak kecil, dan sampai sekarang Hasan masih bersahabat dengan
Togob.
Hasan mengunjungi Togob untuk meminta tolong dibetulkan pagar rumahnya
yang rusak karena diseruduk kerbau. Mengetahui keperluan Hasan kepada
Togob, maka Sudin tidak jadi mengutarakan maksudnya untuk meminjam
uang kepada Hasan. Hal ini disebabkan karena Hasan tidak dalam posisi
sebagai saudagar yang sedang menjalankan aktivitasnya, akan tetapi sebagai
orang yang sedang meminta tolong.

Dari kisah di atas, maka dapat ditengarai bahwa Hasan menduduki dua status yaitu sebagai saudagar kaya di kampung dan sebagai seorang penduduk kampung teman Togob. Hasan dengan statusnya sebagai teman Togob, ia mewujudkan peranannya meminta tolong kepada Togob, dan ketika sedang dalam suasana tersebut, Sudin tidak mungkin mengalihkan peran Hasan menjadi seorang saudagar sekaligus dalam satu waktu.

Seorang direktur sebuah perusahaan bernama Mikail, pada suatu waktu
Mikail sedang berbicara dengan kliennya bernama Samsudin, keduanya
terlibat pembicaraan mengenai perusahaan dalam konteks perdagangan.
Pada saat mereka berbicara, terdengar suara hand phone Mikail, kemudian
Mikail memegang hand phone tersebut dan menjawab salam dari suara orang
yang menelepon. Ternyata Mikail ditelepon oleh adiknya yang bernama
Raqib, dan menanyakan perihal ayah mereka, keduanya, Mikail dan Raqibterlibat pembicaraan mengenai keluarga.

Dari kisah tersebut dapat kita tela’ah bahwa Mikail memerankan dua status sekaligus dalam satu waktu, yaitu sebagai rekan kerja dari Samsudin dan kakak dari Raqib. Dari kenyataan tersebut maka status akan terikat pada pranata apa yang mengikat individunya dalam arena tertentu. Kumpulan hak dan kewajiban atau status yang dipunyai oleh manusia tersebut pada dasarnya dapat terbagi dalam dua bagian besar yaitu perolehan (ascribed) dan pencapaian (achieved). Sebagai status perolehan, manusia tidak akan dapat merubahnya karena sudah secara kodrati diterima. Status perolehan ini akan diwujudkan oleh individu yang menyandangnya, seperti laki-laki dan perempuan, anak si Hasan, bapak si Togob, ibu si Sudin, pemuda atau pemudi berusia 25 tahun, orang tua, anak-anak dan seterusnya. Individu yang menyandangnya tidak akan dapat merubahnya, dan ini akan diwujudkan dalam bentuk nyata sebagai peran-peran sesuai dengan status yang disandangnya. Di pihak lain, status pencapaian adalah kumpulan hak dan kewajiban yang disandang seseorang ketika orang tersebut berada pada status tertentu yang diperolehnya sehingga orang tersebut akan merubah tindakan dan tingkah lakunya dengan dasar status yang disandangnya, seperti seorang pemain badminton di sebuah kampung, dan karena seringnya dia berlatih kemudian mengikuti pertandingan tingkat nasional dan menjadi juara badminton tingkat nasional maka statusnya menjadi berubah, dari seorang pemain badminton tingkat dusun menjadi seorang juara badminton nasional. Sehingga otomatis tingkah laku dan tindakannya akan mengikuti hak dan kewajiban yang baru disandangnya.

Sering terjadi pertentangan dari peran-peran yang dilakukan oleh dua orang individu dalam satu arena interaksi.Pertentangan antar peran yang ada dalam individu berkaitan dengan pola yang ada dalam masyarakat dapat menjadi permasalahan yang dapat menganggu pola yang sudah ada sebelumnya seperti adanya nepotisme.

Mikail dan Raqib adalah dua orang kakak beradik, Mikail adalah seorang
pengusaha dan Raqib adalah seorang sarjana teknik lingkungan yang baru
lulus. Pada suatu waktu Mikail memerlukan seorang ahli mekanik untuk
keperluan beraktivitasnya perusahaan miliknya.
Dalam rangka tersebut, Mikail kemudian membuka peluang untuk penerimaan
tenaga kerja ahli untuk menangani bagian tersebut. Raqib kemudian
mendaftar di perusahaan Mikail. Sebelumnya ayah mereka selalu memberikan
pesan agar sesama saudara harus saling membantu.
Dari perjalanan penerimaan tenaga kerja, ternyata yang berhasil lulus hanya
dua orang yang memenuhi kualifikasi penyaringan ijazah (sarjana) dan
kemampuan umum (bahasa inggris, pengetahuan umum), seorang berlatar
belakang mekanik bernama Ayub dan seorang lagi Raqib. Dengan kondisi
demikian maka muncul kebimbangan dalam diri Mikail. Apabila menuruti
kepentingan perusahaan, maka yang berhak diterima adalah Ayub karena
sesuai dengan keperluan yang ada yaitu ahli mekanik, di pihak lain, Mikail
dibebankan oleh keluarganya agar sesama anggota keluarga harus saling
menolong, artinya dia harus menerima Raqib sebagai tenaga kerjanya
walaupun tidak sesuai dengan bidang yang ada.

Dari ceritera tersebut maka dapat dilihat bahwa Mikail menduduki dua status sekaligus dalam satu waktu, sebagai pimpinan perusahaan atau sebagai kakak. Dengan adanya dua status yang ada, maka otomatis akan terdapat beberapa peran yang saling bertentangan satu dengan lainnya, peran-peran yang harus diwujudkan dalam konteks statusnya sebagai kakak dan peran-peran dalam konteks statusnya sebagai pimpinan perusahaan.

Hal ini berkaitan dengan kenyataan bahwa satu status akan terdiri dari banyak peran atau peranan. Peran-peran yang diwujudkan oleh individu akan berupa tindakantindakan yang terkait dengan pranata sosial yang melingkupinya. Dalam konteks di atas apakah Mikail mewujudkan peran berkaitan dengan pranata keluarga, atau berkaitan dengan pranata mata pencaharian. Dari kenyataan tersebut maka tindakan yang muncul akan dapat menggambarkan sedang mewujudkan pranata sosial apa si individu yang berinteraksi tersebut. Untuk menggambarkan kehidupan suatu masyarakat, atau untuk menerapkan suatu bentuk pembangunan guna meningkatkan kehidupan masyarakat maka perlu adanya penelaahan terhadap sosial. Dalam konteks ini, sosial hanya dapat dipahami dengan melihat wujud nyatanya berupa tindakan-tindakan yang tampak yang dimunculkan oleh individu-individu sebagai anggota masyarakat yang bersangkutan.

Dengan melihat dan mengidentifikasi tindakan-tindakan yang tampak maka kita dapat merekonstruksi pola-pola yang menyebabkan munculnya tindakan yang bersangkutan. Pola-pola yang terwujud tersebut akan mengacu pada pranata sosial yang membentuknya. Pola-pola yang muncul dari pemahaman terhadap tindakan yang muncul yang digambarkan oleh individu-individu sebagai anggota masyarakat pada dasarnya tidak dapat dipahami dari sudut pandang peneliti dari luar masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu untuk dapat memahami pola-pola yang berupa sosial dalam masyarakat perlu bagi orang luar masyarakat untuk dapat hidup dan tinggal bersama masyarakat yang ditelitinya agar makna dari sosial yang berlaku dapat dipahami dengan mudah. Biasanya untuk memudahkan suatu program pengembangan masyarakat hal yang paling cepat memberikan hasil adalah dengan mengidentifikasi masalah sosial yang muncul dalam kehidupan masyarakat. Dengan melihat masalah sosial berarti akan tampak ketimpangan-ketimpangan tindakan-tindakan yang dapat dikatakan melanggar ‘pakem’ atau pola yang sudah ada dalam masyarakat. Sehingga dengan demikian penggambaran suatu bentuk kehidupan sosial masyarakat dapat diidentifikasikan dengan jelas dan fungsional dalam sistem yang sudah ada dan bekerja sebelumnya.

Pemetaan sosial pada dasarnya adalah usaha untuk menggambarkan, mendeskripsikan mengidentifikasikan norma-norma, moral, nilai dan aturan yang digunakan oleh manusia sebagai anggota masyarakat untuk mengatur hubungan interaksi yang terjadi di dalamnya. Norma, moral, nilai dan aturan yang terwujud dalam konteks masyarakat biasanya berupa pranata-pranata yang berlaku dalam masyarakat dan bersumber dari kebudayaan yang dipakai oleh masyarakat yang bersangkutan, sehingga bersifat abstrak.

Usaha melakukan pemetaan sosial dapat dilakukan dengan berbagai cara atau metode penjaringan data atas gejala yang tampak, yaitu bisa dengan cara kuantitatif atau juga dengan kualitatif. Tetapi agar supaya gejala sosial yang diidentifikasi tersebut dapat tergambar dengan jelas dan berkaitan dengan kebudayaan yang dipegang oleh masyarakat yang bersangkutan, maka akan lebih baik lagi menggunakan metode kualitatif yang berisi tentang kualitas dari data yang diperoleh. Walaupun demikian, data-data sekunder tetap diperlukan untuk melihat perkembangan secara historis keadaan kenyataan yang terdeteksi dan pengalaman dari masyarakat dalam menghadapi keadaan-keadaan nyata yang pernah dialaminya.

Kejadian-kejadian nyata yang dialami oleh anggota masyarakat biasanya tercatat dalam buku catatan yang bersifat permanen dan berisi tentang data-data empiris pada masanya. Catatan-catatan ini biasanya berkenaan dengan jumlah penduduk, kepadatan penduduk, pola migrasi, angka kematian dan kelahiran serta kepemilikan yang ada pada masyarakat. Kedua data ini yaitu kualitatif dan kuantitatif menjadikan penggambaran kehidupan masyarakat dapat bersifat menyeluruh atau holistik. Yaitu menggambarkan secara keseluruhan aspek dari keadaan masyarakat dari setiap pranata yang ada di dalamnya. Selain penggambaran keadaan masyarakat secara keseluruhan baik secara diakronis atau historis juga tergambar secara sinkronis atau fungsional hubungan antar pranata yang berlaku di dalamnya yang berisi tentang kebiasaan-kebiasaan dari anggotaanggota masyarakat dalam mewujudkan status dan perannya dalam setiap pranata yang berlaku.

Pemetaan sosial secara mendalam sering dilakukan oleh para peneliti social khususnya antropologi dalam menggambarkan kehidupan secara menyeluruh suatu masyarakat sukubangsa dengan mengorbankan waktu bertahun-tahun untuk tinggal bersama masyarakat yang ditelitinya. Usaha yang dilakukan oleh para antropolog tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah data etnografi.


Arti & Definisi Masalah Sosial

Kata-kata masalah sosial rasanya bukan suatu yang ganjil bagi kita, kata-kata itu sudah sangat umum sekali kita dengar dalam kehidupan sehari-hari. Hampir setiap kali kita membaca surat kabar, menyaksikan berita di televisi, atau mendengarkanya melalui radio saat perjalanan kita ke tempat pekerjaan, kata-kata masalah sosial seringkali hadir, bahkan banyak kejadian yang ada di sekitar kita sering disebut dengan masalah social apabila berkenaan dengan kehidupan manusia, dan bahkan yang berkaitan jauhpun seperti adanya banjir tahunan di Jakarta atau kebakaran hutan di suatu daerah sering disebut sebagai masalah sosial sebagai alternatif penyebutan selain dari masalah lingkungan. Umumnya hal-hal yang seringkali kita sebut sebagai masalah sosial itu berkaitan dengan keadaan atau kondisi yang berkaitan dengan kriminal, seperti pencurian, perampokan, pemerkosaan, pembunuhan dan bahkan pelacuran, korupsipun dimasukkan sebagai kondisi kriminal. Atau sering juga masalah sosial tersebut berkenaan dengan
masalah yang berkaitan dengan kodisi sosial yang menyangkut keberadaan individu-individu dalam masyarakat yang berkaitan dengan kondisi keterpurukan kesejahteraan kehidupan masyarakat, seperti kemiskinan, ketertinggalan tingkat pendidikan, pengangguran, pemutusan hubungan kerja (PHK), penyebaran penyakit, kecenderungan bunuh diri, penyalahgunaan obat-obatan atau narkotika. Ada juga yang mengkategorisasikan masalah sosial sebagai suatu masalah yang berkaitan dengan penguasaan atau wewenang seseorang atau kelompok, seperti berkaitan dengan politik tertentu, penguasaan orang atau sekelompok orang terhadap kehidupan kelompok orang yang lain, pendominasian aturan-aturan dalam kehidupan dan biasanya pendominasian
pada bidang ekonomi.

Masalah penyakit menular yang disebabkan dari kondisi binatang ternak seperti flu burung (avian flu) juga dimasukkan sebagai sebuah masalah sosial dan hal ini banyak disebabkan karena dampaknya yang sangat meluas pada kehidupan manusia secara umum. Keadaan tersebut menyebabkan kekawatiran dari kehidupan sebagian besar anggota masyarakat akan adanya jenis penyakit menular tersebut.

Konflik antar sukubangsa, atau konflik antar anggota kelompok permukiman yang terjadi di masyarakat atau komuniti, atau konflik antar kelompok pola hidup yang berbeda seperti antara kegiatan industri dengan komuniti lokal yang berbeda mata pencaharian sering juga dianggap sebagai masalah sosial. Hal ini berkaitan dengan perbedaan kepentingan dari kelompok-kelompok tersebut, dan bahkan sering masalah politik adalah juga masalah sosial. Kenyataan-kenyataan ini mendorong istilah-istilah yang muncul seperti masalah sosial ekonomi, masalah sosial politik, masalah social agama dan seterusnya. Bahkan terdapatnya usaha untuk mengelompokkan masalah ‘kemasukan’ nya anak-anak murid sekolah menengah atas di suatu daerah yang berakibat mengamuknya anak-anak murid tersebut tanpa sebab yang jelas sebagai suatu bentuk masalah sosial. Tampaknya semua masalah sosial yang telah diidentifikasi secara umum di atas merupakan sebuah gejala yang selalu berkaitan dengan manusia, apakah kondisi kesejahteraan, tingkah laku ataupun pengetahuan manusia itu sendiri. Semua hal tersebut terlihat selalu berkaitan dengan manusia.

Dengan beragamnya kondisi masyarakat berkenaan dengan hambatan-hambatan dan kelancaran kehidupan manusia itu sendiri, maka sebenarnya apa yang disebut sebagai masalah sosial itu?. Ternyata untuk memberikan definisi dari masalah sosial ini tidak semudah menyebut kata-katanya. Belum ada definisi yang baku yang bisa menjelaskan secara gamblang apa yang disebut dengan masalah sosial. Namun beberapa ahli social mencoba atau berusaha untuk menterjemahkan kata-kata masalah sosial. Diantaranya seperti yang disebutkan di bawah ini. Birenboum dan Sagarin (1972) dalam Spector and Kitsuse menyebutkan bahwa masalah sosial ada atau muncul ketika suatu masyarakat tertentu, atau paling tidak sebagian orang dalam komuniti tersebut, merasa dipecah belah atau terancam atau merasa terganggu dalam menjalankan aktivitas atau praktek-praktek kehidupannya yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Sedangkan Raab dan Selznick mencoba menterjemahkan arti masalah social dengan lebih menyoroti kata-kata masalah sosial sebagai cerminan dari ganggungan terhadap ”good will” yang menjadi perhatian dari sebuah komuniti tersebut. Adanya gangguan terhadap jalannya suatu proses tindakan yang mengarah pada keinginan sekelompok orang. Definisi lain juga diberikan oleh Richard and Myer yang menyebutkan bahwa masalah sosial adalah suatu kondisi yang didefinisikan oleh suatu komuniti atau sekelompok orang sebagai sebuah penyimpangan dari suatu norma atau nilai sosial yang sangat dihargai atau yang dianggap penting. Maksudnya adalah kondisi yang ada di lingkungan masyarakat tertentu dipahami berbeda oleh sekelompok individu yang juga anggota masyarakat yang bersangkutan dan akan tetapi mempunyai perbedaan pemahaman terhadap gejala yang tampak nyata, sehingga hasil pemahaman tersebut menimbulkan ketegangan-ketegangan dengan kelompok sosial lainnya, dan ini menciptakan suatu bentuk persaingan dan bahkan konflik.

Perbedaan-perbedaan pemahaman yang digunakan oleh individu-individu yang bersangkutan, pada dasarnya dipengaruhi oleh adanya strata sosial yang menjadi bagian dalam masyarakat. Artinya bahwa individu dari starta sosial tertentu akan berbeda pemahamannya terhadap gejala sosial yang tampak bila dibandingkan dengan individu lain dari strata sosial yang lain padahal mereka berasal dari masyarakat yang sama. Definisi lain juga sejalan dengan apa yang dijelaskan oleh Rubington et al (1981) dalam bukunya The Study of Social Problems, yang menyebutkan bahwa sebuah situasi yang diduga bahwa situasi tersebut tidak cocok atau bertentangan dengan nilai-nilai dari sejumlah orang atau komuniti, dan orang dalam komuniti tersebut sepakat bahwa harus ada aksi yang dilakukan untuk merubah situasi tersebut. Nisbet (1961) dalam Suparlan (1982) juga menegaskan bahwa perbedaan utama antara masalah sosial dan masalah yang lainnya adalah bahwa masalah sosial selalu terkait dengan nilai-nilai moral, pranata-pranata sosial dan atau terkait konteks-konteks normatif dimana hubungan itu terjadi.

Ada dua pandangan tentang masalah sosial, pertama pandangan umum atau orang awam yang menanggapi masalah sosial sebagai suatu yang berkenaan langsung dengan sendi kehidupan dirinya selaku anggota komuniti. Sedangkan lainnya adalah pandangan para ahli yang belum tentu sama dengan pandangan umum. Contoh masalah sosial yang dipandang secara umum adalah masalah kriminalitas dianggap atau merupakan masalah sosial karena dapat menganggu kehidupan anggota komuniti, sedangkan para ahli menyatakan bahwa bukan kriminalitas yang menjadi masalah sosial, tetapi adanya pedagang kaki lima sebagai penyebab munculnya kriminalitas.

Bagi pandangan umum pedagang kaki lima bukanlah masalah sosial, karena pedagang para kaki lima adalah individu yang mencari uang sedangkan pelaku criminal adalah masalah sosial karena terkait langsung dengan kehidupan anggota masyarakat, yaitu mengganggu ketenteraman sendi kehidupan anggota masyarakat. Sedangkan para ahli sosial memandang bahwa karena adanya pedagang kaki lima maka akan muncul segala macam pemalakan terhadap pedagang kaki lima ini, selain itu pedagang kaki lima juga menyebabkan keramaian sehingga dapat menciptakan kejahatan seperti pencopet dan juga penyebab dari adanya kemacetan lalu lintas jalan raya seperti kendaraan roda empat dan roda dua sehingga menyebabkan munculnya kecelakaan lalu lintas, keterlambatan dan kerugian lain yang diderita oleh para pengendara kendaraan karena kemacetan dan lain-lain (Rudito dan Budimanta, 2004).

Jika boleh kita jabarkan, maka titik-titik penting yang bisa disebut sebagai
masalah sosial itu adalah:
o Sesuatu yang secara luas dipertimbangkan sebagai suatu yang “jelek atau buruk” dari suatu hal, kejadian atau tindakan.

o Melibatkan jumlah orang yang banyak (dalam hal ini komuniti / masyarakat atau organisasi atau kumpulan orang yang memiliki keterikatan baik secara moral, hukum atau administrasi)

o Sering, walaupun tidak selalu, dirasakan telah memberikan kerugian bagi masyarakat atau kelompok orang tertentu.

Dari hal-hal yang telah dijelaskan di atas, sedikit banyak sudah bisa memberikan kita pemahaman apa yang dimaksud dengan masalah sosial. Pertanyaan berikutnya adalah kenapa masalah sosial itu bisa terjadi?.Sebagaimana yang kita ketahui bahwa dalam memahami segala suatu yang ada dalam lingkungannya, maka manusia sebagai anggota komuniti tertentu akan mengunakan kebudayaannya. Itu lah sebabnya kenapa budaya suatu komuniti akan berbeda degan komuniti yang lainnya. Sehingga ini juga menyebabkan perbedaan sudut pandang bagaimana cara masing-masing dari komuniti tersebut mengkondisikan bentukbentuk dan tipe-tipe dari masalah sosial yang ada dalam komuniti bersangkutan. Jadi masalah sosial dapat dimaksudkan sebagai hasil dari suatu interaksi antara perwujudan kebudayaan dalam bentuk tindakan-tindakan yang dimunculkan oleh pelaku sebagai anggota masyarakat yang dengan pemahaman individu-individu yang berinteraksi tersebut dengan menggunakan pengetahuan kebudayaan yang dimilikinya masing-masing. Perwujudan tindakan sebagai hasil pemahaman tersebut bisa berbeda antara satu dengan yang lain dan bisa menimbulkan perbedaan hasil (Rudito dan Budimanta, 2004).

Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya manusia sebagai anggota masyarakat akan menggunakan kebudayaannya untuk memahami lingkungan alam dan atau lingkungan sosial. Perwujudan secara nyata sebagai hasil pemahaman tersebut adalah kondisi nyata yang sesuai dengan apa yang dilakukannya. Kondisi nyata yang ada dalam masyarakat yang berupa tindakan-tindakan interaksi sosial baik di dalam masyarakat itu sendiri maupun dengan masyarakat lain, mendorong untuk terciptanya suatu perubahan-perubahan yang terjadi di dalamnya.

Hal ini disebabkan bercampurnya budaya antara anggota masyarakat yang berbeda sehingga memunculkan hasil pencampuran budaya berupa aktivitas-aktivitas baru yang berbeda dengan pengetahuan budaya yang berlaku. Disamping itu akibat bertambah terusnya populasi penduduk akibat kelahiran ataupun migrasi yang memunculkan individu-individu baru yang menempati status dan peran yang tersedia dan lama kelamaan aturan-aturan yang tersedia tidak dapat lagi dipakai untuk mengatur jumlah individu yang bertambah. Disisi lain adanya teknologi baru juga mendorong perubahan pengetahuan dalam budaya yang berlaku dan lingkungan yang ada.

Kesemuanya ini dapat menyebabkan kondisi nyata ini semakin tidak sesuai dengan pola-pola dan model budaya yang dipunyai. Perubahan nyata yang berupa kondisi obyektif dalam masyarakat pada dasarnya tidak sejalan dengan kondisi perubahan ide, pengetahuan, nilai, dan norma yang ada dalam kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Ukuran-ukuran yang berasal dari kebudayaan yang berlaku di masyarakat tidak sesuai dengan perkembangan obyektif dari kenyataan yang ada. Dengan kata lain akan terdapat ketidaksesuaian antara pengetahuan budaya yang dipunyai warga masyarakat dengan kenyataan-kenyataan obyektif yang ada di lingkungan masyarakat. Kenyataan-kenyataan obyektif yang ada, diberi nilai dengan berpedoman kepada kebudayaan yang dipunyai sebagai suatu yang disukai atau tidak disukai. Sehingga keadaan ketidaksesuaian ini menjadi suatu masalah apabila sudah menyangkut sebagian besar anggota masyarakat, yaitu menjadi masalah sosial.

Masalah sosial akan selalu muncul dalam kehidupan manusia sebagai anggota masyarakat dalam mengisi kehidupannya. Kehidupan masyarakat yang digambarkan sebagai pola-pola tindakan dari individu-individunya sebagai anggota akan selalu berubah setiap saat dan perubahan tersebut bisa terencana dan bisa juga tanpa disadari oleh individu-individu yang terlibat di dalamnya. Perubahan-perubahan sosial yang ada dalam masyarakat tidak sejalan dengan perubahan budaya yang dipakai sebagai pengetahuan dalam memahami lingkungan yang ada, sehingga akan terjadi kesenjangan dalam pemahaman gejala sosial yang ada, atau akan terjadi kesenjangan dalam memahami perubahan sosial yang ada. Perubahan sosial akan cepat terjadi dan ini disebabkan adanya perubahan yang berasal dari masyarakat itu sendiri, seperti pertambahan penduduk, penambahan unsurunsur baru dalam warga masyarakat sehingga merubah peran dan status yang ada dan perubahan dari luar yang berupa perubahan karena pengaruh dari masyarakat dan kebudayaan lain, serta adanya perubahan lingkungan fisik alam. Sedangkan perubahan kebudayaan yang dipakai sebagai alat untuk memahami lingkungan sosial tersebut akan terjadi secara lambat, yaitu perubahan yang terjadi pada sistem pengetahuan, nilai dan norma serta aturan guna mengikuti perubahan sosial yang ada agar dapat beradaptasi. Perubahan gejala obyektif dan penilaian secara subyektif ini akan menciptakan masalah sosial bagi individu secara anggota masyarakat. Atau dapat dikatakan sebagai ketidakcocokan antara pengetahuan budaya yang dimiliki oleh anggota suatu masyarakat dengan keadaan nyata yang harus dipahami dan diinterpretasi oleh anggota masyarakat tersebut sehingga memunculkan perbedaan penafsiran karena digunakan kebudayaan yang berbeda. Sehingga antara kenyataan dengan pemahaman kebudayaan terjadi keguncangan (culture shock), akan tetapi biasanya keadaan ini dapat ternetralisasi dengan sendirinya karena manusia bersifat adaptif. Semakin kompleksnya kehidupan bermasyarakat, seperti sering terjadinya akulturasi antar masyarakat yang berbeda maka sering terjadi masalah-masalah sosial.

Dalam konteks ini yang dimaksud dengan akulturasi adalah suatu proses percampuran antar budaya yang dibawa oleh seorang atau beberapa orang anggota masyarakat pendukung suatu budaya tertentu dengan budaya yang dibawa oleh seorang atau beberapa orang pendukung budaya yang berbeda. Proses percampuran tersebut mengakibatkan sebagian dari budaya luar terpakai dan menjadi bagian dalam budayanya sendiri.

Pada suatu pesta perkawinan di kota besar, Togob diundang untuk
menghadiri pesta tersebut di sebuah gedung. Pesta tersebut tertulis ’standing
party’. Togob hadir di pesta tersebut, dan dia menghadapi ’kebimbangan’.
Ketika pada saat makan, tersaji makanan di meja dengan model prasmanan
(mengambil sendiri makanan yang disukai).
Pada prasmanan, tersaji di atas meja panjang setumpukan piring yang
berbentuk pipih (ceper), kemudian di sebelah piring tertata sendok dan garpu
beserta kertas pembersih (tisue). Tidak jauh dari situ terdapat sebuah tempat
cekung besar berisi nasi. Togob kemudian mengambil piring dan sendok serta
beranjak/bergeser menuju ke tempat nasi. Kemudian dia bergeser kembali
menuju ke sebelah nasi untuk mengambil lauk yang ketika itu adalah rendang,
kemudian ’capcai’. Sampai pada deretan lauk yang terakhir terdapat
mangkuk dan sop, dan kemudian Togob mengambil mangkuk serta
menuangkan sop ke mangkuk tersebut. Dengan dua tangan yang penuh
(tangan kanan memegang nasi dengan lauknya, serta sendok/garpu/tisue yang
diselipkan di bawah piring dan di tangan kiri memegang mangkuk berisi sayur
sop) dia lalu bergeser untuk mengambil krupuk dan sebuah pisang serta
segelas air mineral lengkap dengan sedotannya. Menghadapi kenyataan
tersebut maka Togob meletakkan mangkuk berisi sop di bagian piring yang
masih tersisa ruang dan tangan kiri tersebut dipakai untuk membawa gelas
plastik berisi air mineral beserta sedotannya, krupuk dan sebuah pisang.
           
Dari penggambaran contoh tersebut maka, Togob mengalami kesenjangan budaya terhadap benda-benda serta cara yang digunakan dalam pesta tersebut. Benda-benda seperti piring, sendok garpu dan sop merupakan benda-benda dari budaya lain, sedangkan lauk pauknya masih menggunakan budaya si Togob tersebut. Apalagi bila diikuti bahwa pesta tersebut adalah standing party yang mengharuskan para undangan makan sambil berdiri. Togob terbiasa dalam masyarakat kebudayaannya, dia makan dengan menggunakan piring yang cekung (dalam) serta makan tidak menggunakan sendok garpu. Biasanya Togob makan dengan memegang piring pada bagian bawah piring dengan tangan kirinya, karena piring biasanya berbentuk cekung, maka telapak tangan kirinya dapat memegang dengan baik. Kemudian dia selalu menggunakan tangan kanan telanjang untuk mengambil nasi di piring tersebut serta memotong lauk (daging) dengan menggunakan tangan kanannya dan dikuatkan oleh piring yang dipegangnya dengan cara tangan kanannya memegang lauk dan ditekan ke arah dasar piring yang dipegang dengan tangan kirinya. Biasanya dia makan sambil bersila (menekuk kedua kakinya di depan sambil duduk). Dapat dibayangkan bagaimana tingkah laku Togob selanjutnya apabila dia harus menyelesaikan makanan yang telah diambilnya dengan mengikuti aturan dalam standing party tersebut. Tentunya tidak bisa Togob memegang piring di pesta tersebut dengan memegang bagian bawah piring karena berbentuk ceper, sehingga harus dipegang pada sisi piring. Dia juga harus menggunakan sendok garpu sedangkan pesta tersebut mengharuskan dia makan sambil berdiri, dan seterusnya.

Pada dasarnya, akulturasi bukanlah semata-mata menjadi penyebab masalah sosial, tetapi akulturasi merupakan juga suatu proses dari berkembangnya suatu masyarakat, dan dengan adanya akulturasi maka proses perubahan dari luar akan dapat terjadi. Perubahan memang sangat dibutuhkan oleh suatu kehidupan bermasyarakat karena perubahan akan membawa kondisi masyarakat ke dalam keadaan yang lebih baik. Biasanya akulturasi terjadi setelah didahului oleh adanya difusi kebudayaan dari masyarakat yang berbeda yang melakukan interaksi sosial dalam sebuah arena. Sehingga dengan demikian masalah sosial merupakan suatu gejala yang akan kerap terjadi, dan ini bukanlah menjadi suatu penghambat bagi berkembangnya suatu pola kehidupan masyarakat. Walaupun demikian, masalah sosial harus dapat dicari pemecahannya karena pada umumnya akan dapat berulang pada kondisi yang sama atau mirip pada masa-masa selanjutnya, dan pada kehidupan masyarakat yang mengalami perubahanlah segala masalah sosial akan sering terjadi. Hal ini karena tidak ada suatu masyarakat yang tidak mengalami perubahan.

Di dalam kehidupan sebuah korporasi, keadaan yang dapat menyebabkan masalah sosial dapat juga terjadi, khususnya korporasi yang ada di Indonesia dengan pekerjanya berasal dari kesukubangsaan dan kebudayaan yang sangat bervariasi. Dalam kehidupan interaksi antar sesama anggota korporat juga sering terjadi masalah sosial, dan ini melibatkan pengetahuan budaya yang dimiliki oleh masing-masing individu. Pada sebuah korporat biasanya lingkup korporat yang bersangkutan mempunyai sebuah budaya atau sering disebut sebagai budaya perusahaan (corporate culture). Fungsi dari budaya perusahaan adalah untuk mengatur para anggota komuniti perusahaan tersebut untuk dapat mempunyai bentuk interaksi yang mencerminkan budaya perusahaan yang bersangkutan dan ini biasanya diarahkan dari adanya visi dan missi perusahaan.

Di pihak lain, para anggota komuniti perusahaan tersebut, khususnya perusahaan yang ada di Indonesia, berasal dari budaya-budaya yang berbeda yang dilatar belakangi oleh kesukubangsaan dari individu-individu yang bersangkutan. Sehingga secara mendasar, para anggota sebuah komuniti perusahaan di Indonesia telah mempunyai budaya atau kebudayaan (pengetahuan budaya) sendiri-sendiri yang berasal dari kelompok sosialnya masing-masing (bisa sukubangsa, bisa juga kelas sosial, bisa juga pola hidup). Akibatnya budaya perusahaan yang menjadi acuan dalam bertindak sebagai anggota komuniti perusahaan akan ditanggapi secara berbeda berdasarkan pada pengetahuan budaya yang telah dimiliki sebelumnya, sehingga sering terjadi suatu masalah-masalah sosial berkenaan dengan tindakan yang diwujudkan oleh para anggota komuniti perusahaan yang bersangkutan.


Pranata Sosial (Social Institution)


Seperti yang telah diutarakan sebelumnya bahwa masalah sosial akan dapat muncul ketika kenyataan yang ada tidak dapat dipahami oleh pengetahuan kebudayaan yang dipunyai oleh para individunya dan atau dipahami secara berbeda antara masing-masing individu yang terlibat di dalam interaksi sosial yang ada. Individu-individu yang terlibat dalam interaksi yang berusaha untuk memahami kenyataan yang ada tersebut, pada dasarnya adalah untuk usaha pemenuhan kebutuhan dirinya agar dapat hidup secara berkesinambungan.

Kesamaan pandangan dan pemahaman terhadap dunia sekitar manusia hidup menjadi patokan bagi kesinambungan kehidupan manusia itu sendiri, artinya bahwa ketidak samaan dalam pemahaman tentunya terkait dengan kemampuan atau kekuatan dari pedoman yang mengatur kelompok sosial yang bersangkutan. Sehingga dengan demikian, kemampuan kebudayaan dari manusia yang digunakan untuk pedoman berinteraksi harus dipahami dan diwujudkan melalui pranata sosial yang tersedia di masyarakat. Pandangan terhadap dunia sekitarnya dipahami dengan menggunakan kebudayaan dari manusia dan dengan menggunakan kebudayaan yang dipunyai tersebut, manusia dapat memahami dan menginterpretasikan lingkungannya serta mewujudkan tindakantindakan. Dengan demikian, kebudayaan disini dipahami sebagai pengetahuan manusia sebagai mahluk sosial yang isinya adalah perangkat-perangkat model-model pengetahuan, yang secara selektif digunakan oleh para pendukung/pelakunya untuk menginterpretasi dan memahami lingkungan yang dihadapi, dan digunakan sebagai referensi atau pedoman untuk bertindak (dalam bentuk kelakuan dan benda-benda kebudayaan) sesuai dengan lingkungan yang dihadapi. Perwujudan dari penggunaan secara selektif kebudayaan yang dipunyai tersebut ada pada masing-masing pranata social yang berlaku, sehingga tampak dalam pranata sosial tersebut segala tindakan dan tingkah laku dari individunya sebagai anggota masyarakat yang bersangkutan. Dalam pranata sosial komuniti, diatur status dan peran untuk melaksanakan aktivitas pranata yang bersangkutan. Dengan kata lain bahwa peran-peran tersebut terangkai membentuk sebuah sistem yang disebut sebagai pranata sosial atau institusi sosial yakni sistem antar hubungan norma-norma dan peranan-peranan yang diadakan dan dibakukan guna pemenuhan kebutuhan yang dianggap penting masyarakat (Suparlan, 2004:6), atau sistem antar hubungan peranan-peranan dan norma-norma yang terwujud sebagai tradisi untuk usaha-usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan sosial utama tertentu yang dirasakan perlunya oleh para warga masyarakat yang bersangkutan.

Peranan-peranan yang ada terkait pada konteks pranata sosial yang dilaksanakan oleh yang terlibat di dalamnya, peranan-peranan tersebut merupakan perwujudan obyektif dari hak dan kewajiban individu para anggota komuniti dalam melaksanakan aktivitas pranata social yang bersangkutan.

Bekerjanya sistem yang ada dalam pranata sosial ini mendorong bekerjanya status dan peran yang mengikat individu yang berada dalam pranata sosial yang bersangkutan dalam menanggapi lingkungan yang dihadapinya.

Kemampuan dari pranata social mengatur individunya sering disebut juga sebagai modal sosial (social capital), individu-individu yang ada dalam pranata sosial tersebut berbagi (sharing) nilai dan norma dan menjadikannya sebagai pedoman dalam berhubungan satu dengan lainnya, sehingga masing-masing anggota komuniti tersebut yang terikat dengan pranata sosial yang bersangkutan akan merasa percaya atau membengun kepercayaan (trust). Jadi suatu pranata sosial yang mampu bertahan dalam mengatur individunya dalam status tertentu dalam sistem yang ada sehingga aturan yang ada dalam pranata sosial tersebut menjadi pengetahuan dalam benak individunya dan dijadikan sumber dalam memahami lingkungannya, pengetahuan ini merupakan modal sosial dari masyarakat yang bersangkutan.

Bentuk-bentuk modal sosial pada dasarnya terbentuk dari dua jenis solidaritas sebagai usaha individu-individu untuk berkelompok, yaitu solidaritas mekanik dan solidaritas organik (mengacu pada pendapat Emile Durkheim dalam Schaefer, 2006).

Solidaritas mekanik dapat dipahami sebagai bentuk solidaritas yang mengikat individunya dalam sebuah kelompok sosial karena adanya rasa kebersamaan, adanya aturan untuk berkelompok tanpa memperdulikan status sosial dari individu-individu yang ada di dalam komuniti yang bersangkutan. Biasanya solidaritas mekanik berada di daerah pedesaan; sedangkan solidaritas organik lebih mengacu pada perbedaan individu-individu dengan keahliannya masing-masing yang terkait sebagai satu kelompok sosial karena masing-masing individu memerlukan kemampuan individu lainnya, biasanya terdapat pembagian kerja dan umumnya sebagai ciri masyarakat perkotaan.

Menurut Durkheim, pedoman yang dijadikan acuan pada dasarnya adalah sebuah gagasan yang bersifat kolektif atau gagasan kolektif. Gagasan kolektif ini bermula dari adanya gagasan-gagasan individu, jadi masing-masing individu mempunyai gagasan, dan beberapa kesamaan dari gagasan tersebut dapat disatukan sebagai gagasan kolektif yang dapat menjadi pedoman dalam berinteraksi satu sama lain dalam satu kolektiva sosial.

Gagasan individu pada dasarnya bertolak dari sifat manusia itu sendiri yang mempunyai wawasan pengetahuan terhadap lingkungan sosialnya. Gagasan-gagasan individu tersebut mempunyai kesamaan yang potensial untuk digunakan sebagai pedoman bersama, sehingga kelompok gagasan tersebut secara tidak sadar mempunyai kesamaan visi, dan ini menjadikan individu-individu yang terikat di dalamnya tidak menyadari bahwa akhirnya gagasan kolektif tersebut mengatur tindakan individu-individunya.

Dinyatakan bahwa solidaritas mekanik lebih cenderung menguasai kehidupan sosial di pedesaan, dijelaskan bahwa masyarakat pedesaan lebih mengutamakan pedoman yang menjadi acuan bagi tindakannya, dan bahkan tidak sadar akan fungsinya mengapa mereka harus melakukan tindakan seperti itu, misalnya gotong royong di pedesaan.

Dalam solidaritas mekanik, pedoman yang mengatur interaksi antar anggota komuniti sangat kuat mengatur individu-individunya dan bahkan diberikan norma yang bersifat sakral, artinya apabila terjadi penyimpangan tindakan terhadap pedoman maka individu tersebut dianggap melanggar tradisi dan perlu diupacarakan agar dapat berfungsi kembali. Gambaran ini sangat terkait dengan perkembangan mitos yang muncul di dalam kehidupan masyarakat, biasanya juga akan muncul legenda-legenda yang berkaitan dengan tindakan-tindakan para anggota komuniti yang dianggap baik dan tidak baik.

Jerome Manis dan Bernard Meltzer dalam Little John, 1996, membatasi 7 dasar teoritikal dan metode yang berlandaskan pada inti konsep dari tradisi (tradition):
1. Seluruh anggota masyarakat mengerti sesuatu dari pemaknaan yang diperoleh dari
pengalaman mereka masing-masing terhadap masalah-masalah yang dihadapinya
            dalam lingkungan mereka, pengalaman ini didasari pada persepsi yang dipunyai oleh
mereka sebagai pedoman untuk beradaptasi.

2. Adanya pola yang berkaitan dengan penjelasan atau seperangkat arti yang muncul
dari hubungan antara simbol dalam kelompok sosial. Hubungan sosial yang muncul
akibat dari adanya interaksi yang terjadi terus menerus antar golongan dalam satu
masyarakat akan besifat stabil dan ini dapat dimaknai dengan satu atau beberapa kata saja.

3. Munculnya atau terciptanya lapisan-lapisan sosial yang ada dalam struktur sosial
akibat dari adanya interaksi sosial diantara anggota masyarakat, interaksi ini
mewujudkan adanya jatidiri yang muncul akibat dari pola pikir dan juga sifat dari
individu yang bersangkutan. Sehingga dapat dikatakan seluruh struktur sosial dan
pranata sosial yang ada dalam masyarakat diciptakan dari adanya anggota masyarakat
yang berinteraksi.

4. Perwujudan tingkah laku individu sebagai anggota masyarakat tidak langsung
didasari pada kejadian yang menimpanya, akan tetapi lebih didasari pada pengalaman
dalam menghadapi masalah yang sama, dan ini biasanya disosialisasikan secara
berkelanjutan sehingga pola penanganan masalah akan selalu sama atau mirip antara
satu generasi dengan generasi lainnya dalam satu masyarakat.

5. Adanya pemikiran yang terdiri dari perbincangan yang terjadi di dalam masyarakat
yang merefleksikan suatu interaksi sosial. Sehingga pemikiran tersebut menjadi
berpola dan selalu digunakan apabila menyangkut perbincangan yang sama.

6. Tingkah laku diciptakan dalam kelompok sosial dalam interaksi yang terjadi yang
melibatkan pengetahuan yang didasari pada latar belakang struktur sosial yang
berlaku. Kemudian tercipta adanya strata-strata sosial yang berlaku dalam masyarakat
yang menunjukkan adanya status dan peran yang berbeda dari masing-masing strata.

7. Arti suatu tindakan dari tingkah laku yang sesuai dengan gejala yang ada, dan ini
bersumber dari suatu pedoman bersama yang secara tidak sadar dan tidak langsung
disepakati bersama berdasarkan pada pengalaman yang dialaminya dari hari ke hari.
Dari penjelasan tentang tradisi ini tampak adanya suatu pedoman yang tercipta
dari adanya interaksi yang terus menerus terjadi dan secara tidak langsung menciptakan
pola yang tetap dan stabil dari tahun ke tahun. Pola ini akan berlanjut terus secara
berkesinambungan dari generasi ke generasi karena adanya sosialisasi antar generasi.
Sedangkan solidaritas organik lebih kentara tergambar di perkotaan dimana
diversitas pekerjaan sangat besar, masing-masing individu menyadari betul fungsinya
masing-masing dalam sebuah komuniti, sehingga pedoman yang menjadi acuan lebih
merupakan sebuah sistem yang berfungsi antar individu satu dengan lainnya dalam
sebuah komuniti. Pelanggaran terhadap aturan atau pedoman bisa terjadi dan biasanya
individu si pelanggar akan dikenai sanksi formal atau akan didiskriminasi oleh
kelompoknya, dan alasan ini masuk akal karena sanksinya jelas yaitu adanya hukum
formal.


Kekuatan pedoman sebagai pengatur tingkah laku pada dasarnya dapat mengikat individu sedemikian kuatnya, seperti rela berkorban karena pedoman yang dijadikan acuan bertindak mengikat identitas diri individu, seperti pernyataan Durkheim sebagai altruistic, contoh kekuatan pedoman mengatur tingkah laku individunya adalah ketika pada masa perang dunia kedua, tentara Jepang rela bunuh diri (harakiri) untuk membela negaranya. Di pihak lain lemahnya pedoman yang menjadi acuan menyebabkan orang juga menjadi bimbang karena tidak ada pedoman yang dapat dipegang (anomi), ini digambarkan ketika terjadi krisis moneter yang menyebabkan nilai uang tidak dapat menjadi patokan dan harga selalu berubah-ubah, maka kondisi tersebut menyebabkan banyak orang bunuh diri. Sehingga dengan demikian modal sosial adalah sebuah pranata sosial yang ada dalam masyarakat yang kemampuan pedoman (aturan, nilai, norma dan pengetahuan) yang ada dalam pranata sosial tersebut mempengaruhi individu-individu yang ada di dalamnya, dan menjadikannya sebagai milik individu. Seperti telah dijelaskan di atas, bahwa modal sosial menyangkut juga sanksi-sanksi yang mengikat anggota komunitinya dan biasanya sanksi-sanksi tersebut bersifat moral.

Pada masa sekarang banyak sudah orang-orang yang terdidik, berpendidikan sarjana ke atas, dan ini merupakan milik individu untuk dapat digunakan bagi individu tersebut untuk bekerja berinovasi dan seterusnya. Kesemua kemampuan individu ini walaupun dikelompokkan sebagai bentuk kelompok sosial belum dapat dikatakan menjadi modal sosial. Hal ini berkaitan dengan mampukah si individu-individu tersebut bekerjasama berfungsi satu dengan lainnya sebagai bentuk solidaritas. Sehingga secara lebih luas akan mempengaruhi pola hidup masyarakatnya sendiri.

Dengan demikian kita dapat memberi contoh pranata sosial yang ada di masyarakat atau komuniti seperti aktivitas mata pencaharian (sebuah pranata sosial) misalnya sistem berladang, di dalam melaksanakan aktivitasnya, anggota komuniti sangat mengutamakan kerjasama dalam sistem perladangan, dalam pedoman system perladangannya diatur status dan peran dari masing-masing individu. Status dan peran tersebut seperti siapa yang membuka lahan untuk perladangan (biasanya laki-laki), kemudian aktivitas apa yang mendahului pekerjaan membuka ladang (seperti adanya pemimpin upacara dsb.). Lalu dilanjutkan dengan siapa saja yang mengerjakan menanam ladang tersebut (biasanya perempuan). Begitu seterusnya sampai pada panen, kesemua
aktivitas tersebut secara tetap dilaksanakan sesuai dengan tradisi yang berlaku, pelanggaran peran yang terdapat didalam aktivitas tersebut dapat mendorong munculnya sanksi tertentu terhadap si pelanggar. Kekuatan aturan yang menjadi pedoman tersebut dapat dikatakan sebagai modal sosial.

Pelanggaran-pelanggaran terhadap pedoman yang diacu bersama akan mempengaruhi hubungan antar individu yang ada dan dampaknya dapat mengganggu keberadaan pedoman tersebut, sehingga pada gilirannya akan mempengaruhi modal sosial yang sudah tetap. Ini dapat terjadi ketika keadaan sosial mulai terdapat perubahanperubahan seperti adanya pengaruh aturan dari luar, adanya hubungan dengan kebudayaan luar yang dirasa lebih efisien dengan menggunakan aturan dari luar. Dengan demikian, modal sosial sangat erat kaitannya dengan kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat atau komuniti. Segala perubahan dalam tataran ide, gagasan amat rentan terhadap perubahan, dan oleh karena itu modal sosial dituntut untuk lebih adaptif dalam menanggapi perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat, dan ini biasanya dapat menciptakan masalah sosial dalam masyarakat.


Kesimpulan


Dalam kesimpulan disini yang ingin disampaikan berdasar pada paparan tulisan pada halaman sebelumnya adalah bahwa sebuah pranata sosial memberikan makna kepada kita bentuknya yang abstrak yang tidak dapat dilihat, akan tetapi mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi tingkah laku kita khususnya tindakan-tindakan yang harus dilakukan berdasar pada aktivitas yang mengikatnya. Pranata sosial yang ada di masyarakat pada prinsipnya adalah mengacu pada kebudayaan yang dipedomaninya, sehingga ketika terjadi suatu perubahan pada tingkah laku nyata yang terlihat maka biasanya aturan dalam pranata sosial dapat menetralisirnya, akan tetapi terkadang perubahan dapat juga terjadi ketika muncul hubungan antar budaya yang berbeda. Perubahan ini biasanya didahului dengan adanya proses adaptasi antar aturan yang muncul. Sehingga akhirnya muncul masalah-masalah sosial.

Di dalam pranata sosial kita dapat menganalisa adanya masalah-masalah social dengan cara menganalisa modal sosial yang ada pada masyarakat, dan modal sosial ini pada dasarnya terletak pada masing-masing pranata sosial yang berlaku di masyarakat. Kadang-kadang kita sering dikacaukan antara istilah pranata sosial dengan lembaga sosial. Akan tetapi pada dasarnya bila kita mengacu pada lembaga artinya suatu bentuk pranata sosial yang bersifat resmi dan mempunyai struktur yang jelas serta tertulis. Seperti apabila kita mengatakan sebuah pranata sosial pendidikan maka di dalamnya terdapat lembaga-lembaga pendidikan, seperti Sekolah Dasar, Institut Teknologi Bandung; Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial. Kesemuanya tersebut merupakan wadah bagi terlaksananya pranata pendidikan suatu masyarakat; sehingga dapat dikatakan bahwa pranata sosial pendidikan mempunyai arti yang lebih luas dan abstrak, di dalam
pranata sosial pendidikan maka di dalamnya terdapat proses sosialisasi, status dan peran yang ada, sedangkan lembaga pendidikan akan tampak wujud fisik serta aturan-aturan yang jelas tertulis.

Akhirnya sebuah masyarakat akan mempunyai banyak sekali pranata sosial yang menjelaskan makna dari norma, nilai, pengetahuan serta aturan yang ada dalam kebudayaan masyarakat yang ada, karena pranata sosial merupakan sebuah perangkat pedoman dalam aktivitas khusus manusia sebagai anggota masyarakat.



Sumber :

Barth, F, (1969) Ethnic Groups and Boundaries, Boston: Little Brown.
Feuerstein, Marie-Therese (1986) Partner in Evaluation: evaluating development and
community programmes with participants, London: Macmillan.
Geertz, Clifford (1973) The Interpretation of Cultures, New York: Basic Books Inc.
John, Little Theories of Human Communication (1996). Belmon, California:Wadsworth
Publishing Company.
Leach, Edmund (1979) “ Ritualization in Man in Relation to Conceptual and Social
Development” dalam Reader In Comparative Religion: An Anthropological Approach
(Lessa, AWilliam and Evon Z Vogt eds), New York: Harper & Row.
Lessa, William A (1979). Reader in Comparative Religion an Anthropological Approach, New
York: Harper and Row.
Rudito, Bambang dan Adi Prasetijo, Kusairi (Ed) (2003) Akses Peran Serta Masyarkat, Jakarta:
Sinar Harapan dan ICSD.
Rudito, Bambang dan Adi Prasetijo, Arif Budimanta (2004) Corporate Social Responsibility,
Jakarta: ICSD.
Schaefer, Richard T (2006) Sociology: A Brief Introduction, McGraw-Hill.
Spradley, James. P (ed) (1972) Culture and Cognition: Rules, Maps, and Plans, Chandler
Publishing Company.
---------------------- (19790 Ethnographic Interview, New York: Rinehart andWinston.
Suparlan, Parsudi (2000) “Ethnicity and Nationality among The Sakai: The Transformation of
an Isolated Group into a Part of Indonesian Society” dalam Jurnal Antropologi
Indonesia 62: 55-74.
——————————(2000) “Kata Pengantar” dalam Ketakwaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa (Parsudi Suparlan dan Harisun Arsyad, eds.), Jakarta: Badan Penelitian
Pengembangan Agama Departemen Agama.